Minggu, 16 Februari 2014

Penampilan Demi Pencitraan



Don’t Judge Book From The Cover
Seringkali kita mendengar petuah diatas, yang berarti ‘Jangan nilai sebuah buku dari sampulnya’. terutaman dalam hal penampilan. Apakah itu benar? Itu salah. Kenyataannya, ketika dalam memutuskan sebuah sampul dalam pembuatan sebuah buku, sampul itu menjadi penting sekali. Bahkan menyita hampir setengah energi setiap editor untuk memikirkannya. Pasalnya, dalam industri perbukuan, keberadaan sebuah buku harus bisa mempromosikan diri sendiri.
Bayangkan ketika Anda masuk ke sebuah toko buku dan belum ada ide hendak membeli buku apa. Maka pertarungan untuk merebut perhatian Anda adalah pertama-tama dari sampulnya. Kemudian, barulah Anda membaca sinopsisnya, yang notabene itu masih berada di bagian sampul, meski ada di belakang.
Saking pentingnya sampul untuk menarik perhatian pembaca, industri buku juga mulai beralih untuk memasukkan komentar-komentar entah itu pendapat selebriti, orang ternama, atau secuplik ulasan media di bagian belakang sampul. Tujuan jelas: membentuk pencitraan tertentu untuk mendorong terjadinya pembelian.
Pentingnya pencitraan memang erat kaitannya dengan produk komersil. Lihat saja iklan sabun atau kosmetik yang menampilkan para artis cantik. Jelas tujuannya untuk menarik para pembeli untuk memberikan harapan kepada mereka agar dapat meniru si artis tersebut. Hingga akhirnya dapat mempengaruhi mereka untuk membeli produk yang ditawarkan.
Nah, itu untuk produk. Bagaimana dengan kita sebagai pribadi. Bagaimanapun, citra itu penting.  Suka atau tidak suka, kita hidup dalam dunia yang memang pertama-tama menilai orang dari bungkusnya. Apalagi ketika hidup di perkotaan urban, membuat kita terlalu sibuk untuk bisa lebih mengenal orang lain.
Pada kehidupan masyarakat urban yang super sibuk membuat kita tidak punya banyak waktu untuk mencoba mengenal teman baru lebih lama. Mengunjungi tetangga saja sudah tidak ada waktu, kan?
Menyediakan waktu khusus untuk keluarga saja sudah sedemikian sulitnya, masak kita lebih memilih menggunakan waktu yang tersisa demi membuktikan "jangan menilai sebuah buku dari sampul" pada orang yang kita temui.
Ketika kita mati-matian meminta orang lain untuk menilai kita jangan dari luarnya saja, ini terlalu egois. Ini sama halnya meminta mereka untuk mengenal kita lebih lanjut, mempelajari kita lebih dalam untuk membuktikan bahwa kita berbeda dengan tampilan luar kita.
Kejam memang memandang hidup kita seperti produk. Inilah konsekuensi ketika hidup sudah sedemikian sibuk, sehingga kita perlu selalu menyiapkan diri untuk dinilai dengan cara flash. Coba saja ke mal. Koridor tempat para pengunjung berjalan itu sebenarnya etalase. Kita saling menilai satu sama lain dari penampilan
Inilah pentingnya menjaga penampilan demi pencitraan. Kita harus memilih, citra seperti apa yang ingin kita tampilkan di depan umum. Citra aktivis, sosialita, ibu rumah tangga baik-baik, pekerja tangguh? Banyak sekali varian citra yang tersedia untuk dipilih.
Banyak pakar karier memberi nasihat, selalu berpenampilan rapi ketika kita berada di lingkungan kerja. Tidak harus mewah, tapi rapi dan bersih. Pasalnya, kita tak pernah tahu akan ada tugas apa yang menanti kita atau akan bertemu siapa pada hari itu. Akan selalu ada kejutan dalam keseharian kita, yang menuntut kita harus siap menyuguhkan penampilan terbaik.
 Melelahkan? Tergantung cara pandang kita. Ketika kita menilai menjaga penampilan itu paksaan, ya memang melelahkan. Tapi kalau kita menyikapinya dengan nikmat, seperti menjadikannya alasan tepat untuk berburu pakaian, tas, dan sepatu oke di toko, semuanya tidak terasa berat. Alasan terberat adalah saat merogoh dompet untuk itu semua.

Tidak ada komentar: